Jumat, 19 November 2010

Pariwisata Lombok di Bawah Bayangan Bali



Jalan menanjak, berbatu dan bercampur tanah liat licin, mengurungkan niat kami menuju Bangko-bangko, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Mobil terpaksa mundur ketika jarak hanya tinggal 1,5 kilometer dari tujuan. Perjalanan dua jam lebih dari Kota Mataram pun terasa sia-sia. "Padahal, Bangko-bangko adalah pantai terindah yang digemari wisatawan untuk selancar," kata Hardi, sopir, sekaligus pemandu wisata lokal, menambah rasa mangkel.

Prasarana yang buruk menjadi gambaran umum pariwisata di Lombok, salah satu tujuan wisata utama di Indonesia. Daya tarik pulau ini merupakan salah satu yang diharapkan bisa memenuhi target kunjungan tujuh juta wisatawan asing selama Visit Indonesian Year 2008.

Selain ke Bangko-bangko, jalan di Pantai Kuta, Lombok Tengah, serta ke Desa Adat Senaru dan Desa Adat Sembalun, dua desa yang menjadi gerbang pendakian ke lereng Gunung Rinjani juga rusak. Di kawasan wisata Pantai Kute, Lombok Tengah, jalanan juga masih banyak yang berupa pasir dan tanah liat licin. Hampir tak ada fasilitas umum yang layak di lokasi-lokasi wisata itu.

Padahal, dibandingkan dengan Bali, Lombok memiliki bentang alam yang tak kalah menawan. Jika Bali punya Pantai Kuta, Lombok pun punya pantai dengan nama yang mirip: Kute. Bahkan. Pantai Kute Lombok memiliki bentang alam yang jauh lebih memesona.

Pantai berpasir putih sebesar merica itu diapit perbukitan yang asri. Di pantai ini setiap akhir Februari, ribuan warga Sasak-kelompok etnis asli Lombok-mengadakan upacara bau nyale atau menangkap semacam cacing laut untuk menandai awal musim tanam padi.

Lombok juga memiliki ratusan pulau-pulau kecil (gili) yang elok, baik untuk selancar maupun penyelaman, beberapa yang sudah populer adalah Gili Air, Meno, dan Trawangan.

Jika Bali memiliki Gunung Agung, Lombok memiliki Gunung Rinjani, ditambah dengan Danau Segara Anak di puncaknya. Jika Bali memiliki pura-pura Hindu yang eksotis, Lombok juga memiliki sejumlah pura tua dan ratusan masjid tua yang bersejarah. Di Lombok tradisi wektu telu juga masih terjaga. Mereka masih melakukan upacara-upacara adat secara rutin.

Jika Bali adalah "museum hidup" masyarakat Hindu, Lombok adalah "museum hidup" bagi multikulturalisme. Danau Segara Anak sebagai kaldera Gunung Rinjani, contohnya, tiap tahun dikunjungi umat Hindu untuk melaksanakan acara mulang pekelem. Upacara itu dilakukan di antara masyarakat lereng Rinjani yang mayoritas menganut Islam dengan tradisi wektu telu.

Kuliner tradisional Lombok juga tak kalah dari Bali. Ayam taliwang plus pelecing kangkung adalah salah satunya. Sejumlah sentra kerajinan rakyat yang mendarah daging di Lombok seperti tenun songket dan gerabah juga sangat layak "jual".

Tetapi, apa yang kurang dari Lombok sehingga selalu saja hanya menjadi bayang-bayang Bali, tetangga mereka yang hanya dipisahkan oleh 25 menit penerbangan? "Lombok memiliki aset wisata alam yang tak kalah jika dibandingkan Bali. Tetapi, pengembangan wisata di Lombok memang tersendat-sendat," kata Tjok Suthendra Rai, Kepala Dinas Pariwisata Lombok Barat.

Tiga masalah utama yang menjadi kendala itu, menurut Suthendra, adalah masih minimnya infrastruktur jalan dan listrik serta belum adanya bandara internasional sehingga masih bergantung pada Bali.

Hingga kini, Bali masih menjadi gerbang Lombok bagi dunia luar. Sektor pariwisata Lombok hampir sepenuhnya bergantung pada Lombok. "Sedikitnya 70 persen wisatawan yang berkunjung ke Lombok masuk lewat Bali," kata Suthendra.

Ketua Asosiasi Pariwisata (ASITA) NTB Misbah Mulyadi mengatakan, selama bandara internasional di Lombok belum jadi, ketergantungan Lombok terhadap Bali masih akan sangat tinggi. "Ketika wisata Bali terpukul akibat bom, wisata Lombok pun ikut hancur. Padahal, jika ada penerbangan langsung ke Lombok, saat wisatawan takut ke Bali bisa beralih ke Lombok," kata Misbah.

Tetapi, jangan lupa, jika Bali diguncang dua kali bom yang menghancurkan dunia pariwisata mereka, Lombok pernah diamuk kerusuhan bernuansa suku, agama, ras, antargolongan (SARA). "Di samping keterbatasan fisik, masyarakat Lombok sendiri memang belum sadar wisata. Banyak pantai indah, termasuk di Senggigi, yang diserbu pedagang asongan sehingga bisa mengganggu privasi tamu," kata Kunto Widiatmoko, General Manager Hotel Senggigi Beach.

"Yang paling kami takutkan adalah kerusuhan massal bersifat SARA. Jika itu terjadi lagi, hancurlah wisata di Lombok karena masalah ini sangat sensitif bagi para wisatawan asing," kata I Gusti Lanang Patra, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB.

Kerusuhan itu telah mencoreng citra Lombok. Bahkan, Lombok pernah masuk ke dalam daftar kawasan tujuan wisata yang tidak dianjurkan oleh negara pemasok wisatawan dunia seperti AS dan Eropa.

Lain Bali, lain Lombok

Berbeda dengan Bali yang memiliki tradisi pariwisata sangat tua, yaitu sejak era kolonial Belanda, tradisi wisata di Lombok relatif masih sangat baru. Wisata Lombok mulai dikunjungi wisatawan sekitar tahun 1986, ditandai berdirinya sebuah hotel di wilayah Desa Meninting.

Bali juga diuntungkan oleh banyaknya intelektual dan seniman dari dunia Barat yang jatuh cinta dan kemudian menetap di Bali. Sebutlah, misalnya, pelukis Belanda Rudolf Bonnet dan pelukis Jerman merangkap musikus Walter Spies. Melalui merekalah, Bali dikenal di dunia sebagai "Surga Terakhir", "Surga yang Hilang", "Pulau Dewata", dan
sejumlah julukan eksotis lainnya.

Lombok tak memiliki tradisi ini. Tak ada penulis-penulis dan seniman kaliber dunia yang menetap di Lombok dan kemudian memopulerkan pulau ini secara intensif. Maka, eksotisme pantai dan gunung, serta kekayaan tradisi masyarakat di Lombok, lambat bergaung di bursa pariwisata global.

Justru yang kini berdatangan ke Lombok adalah para petualang properti yang melihat tanah sebagai investasi. Mereka ramai-ramai memborong tanah-tanah warga lokal dengan iming-iming keuntungan pribadi....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar